Sabtu, 14 Januari 2012

Sejarah Lokal dan Ketahanan Daerah

Catatan Teman

Sejarah Lokal dan Ketahanan Daerah

Oleh: Mustakim

Pembelajaran sejarah lokal pernah menjadi agenda penting dalam musyawarah kerja nasional (mukernas) tentang pembelajaran sejarah pada 11-13 Juli 2006 di Surabaya. Kegiatan yang diadakan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional itu dihadiri beberapa guru besar sejarah, termasuk perwakilan guru sejarah di negeri ini.

Beberapa hasil mukernas yang perlu digarisbawahi terkait dengan pembelajaran sejarah lokal, antara lain: Pertama, materi yang dikembangkan dalam pembelajaran sejarah harus memiliki pendekatan multikultural. Muatan multikultural perlu diberikan kepada siswa sesuai prinsip pengembangan kurikulum. Prinsip pengembangan berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, serta kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Selain itu, secara realitas objektif, masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural, baik secara suku, agama, etnis, budaya, dan lain-lain.

Kedua, implikasi pendekatan multikultural, materi sejarah harus mengembangkan materi sejarah lokal. Eksplorasi materi sejarah lokal bisa bersumber dari peninggalan-peninggalan sejarah di daerah, penulisannya berdasar tema-tema tertentu. Selain itu, materi sejarah lokal yang ditampilkan bisa dilihat dari dinamika lokal yang terjadi dalam konteks sejarah nasional dan dunia atau dinamika sejarah nasional serta dunia yang berdampak terhadap sejarah lokal.

Ketiga, pendekatan penyajian materi sejarah dilakukan secara kontekstual. Artinya, sajian materi sejarah dikaitkan dengan peristiwa atau fenomena yang terjadi saat ini. Dengan pendekatan materi seperti itu, diharapkan siswa mampu membangun daya nalar dan tidak bersifat indoktrinasi.

Keempat, materi pembelajaran sejarah harus memiliki misi pembentukan karakter bangsa (nation building). Hal itu dilakukan dengan tujuan materi sejarah mampu membangun jati diri bangsa. Nilai-nilai yang dikembangkan dari peristiwa sejarah harus bisa tertanam dalam diri siswa.

Hasil mukernas tersebut tidak terlepas dari keresahan para pemerhati dan guru sejarah atas berbagai persoalan bangsa sekarang. Salah satunya adalah ancaman disintegrasi bangsa. Salah satu penyebab munculnya ancaman itu adalah ketidakmampuan generasi bangsa memahami sejarah perjuangan bangsanya.

Kurikulum sejarah dari waktu ke waktu cenderung lebih berpihak kepada penguasa (sebagai alat legitimasi kekuasaan) dan tidak memberikan ruang pada materi sejarah lokal. Padahal, banyak peristiwa lokal yang bernilai edukatif, inspiratif, dan rekreatif yang perlu diajarkan kepada anak didik.

Selama ini, sejarah yang diajarkan di sekolah kurang bermakna bagi siswa. Sangat ironis, siswa diajak mempelajari asal-usul daerah lain, namun tidak memahami asal-usul daerah sendiri. Di sisi lain, muncul persoalan terkait dengan kecurigaan dari kelompok tertentu yang merasa tidak diuntungkan dalam kurikulum. Dengan demikian, objektivitas karya sejarah juga perlu diperhatikan. Guru sebagai ujung tombak dalam pembelajaran sejarah juga tidak memiliki kemauan serta kemampuan untuk mengembangkan materi dan metode pembelajaran. Sebab, guru kurang memiliki pemahaman teori dan metodologi sejarah.

Di sinilah persoalan pembelajaran sejarah menjadi semakin rumit. Siswa sebagai salah satu komponen dalam sistem pembelajaran juga merasa bosan. Sebab, belajar sejarah hanya menghafalkan nama-nama tokoh, angka-angka tahun, dan benda-benda peninggalan yang kusam. Karena itu, sangat perlu mengubah paradigma dalam pembelajaran sejarah yang cukup memberikan stimulus siswa untuk mempelajari sejarah. Yakni, siswa diajak mampu memaralelkan sejarah dunia dengan sejarah nasional dan sejarah lokal dengan metode yang inovatif.

Pembelajaran sejarah lokal di daerah tertentu pada gilirannya mampu mengantarkan siswa untuk mencintai daerahnya. Kecintaan siswa pada daerahnya akan mewujudkan ketahanan daerah. Ketahanan daerah merupakan kemampuan suatu daerah yang ditunjukkan oleh kemampuan warganya untuk menata diri sesuai konsep yang diyakini kebenarannya dengan jiwa yang tangguh, semangat tinggi, serta dengan memanfaatkan alam secara bijaksana.

Semangat yang terkandung pada era otonomi daerah adalah kemandirian. Yakni, masyarakat secara sadar membangun dirinya menjadi manusia yang amanah dan mampu memanfaatkan sumber daya, baik manusia dan alam, untuk kemaslahatan masyarakat.

Dalam konteks tersebut, pembelajaran sejarah, khususnya sejarah lokal, menjadi relevan. Anak bangsa di negeri ini sudah sewajarnya diperkenalkan dengan lingkungan yang paling dekat, yaitu desanya, kemudian kecamatan, dan kabupaten, baru tingkat nasional dan internasional. Hanya dengan menggali lingkungan yang paling kecil (desa), anak-anak kita bisa mencintai desanya. Bila mencintai desanya, baru mereka mau bekerja di desa dan untuk desanya.

Sejarah lokal sangat berarti bagi anak didik kita. Dengan mempelajari sejarah lokal, anak didik kita akan memahami perjuangan nenek moyangnya dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Nilai-nilai kerja keras, pantang mundur, dan tidak kenal menyerah perlu diajarkan kepada anak-anak kita. Budaya instan yang diajarkan media massa, baik media cetak maupun elektronika, merupakan bencana yang bisa mengancam setiap saat dan harus ditanggulangi.

Pendidikan formal dengan pembelajaran lewat tatap muka dan bahan ajar berupa bacaan harus disediakan sebanyak mungkin. Pendampingan oleh orang tua dan tokoh masyarakat di luar sekolah juga tidak kalah penting dalam menyelamatkan generasi muda dari ancaman budaya asing.

Untuk mendukung tumbuhnya kesenangan kehidupan di desa, penulisan sejarah atau kisah tentang pedesaan harus dilakukan semua pihak dan di semua wilayah Nusantara. Kecenderungan anak muda untuk mengadu nasib di kota sudah semakin mengkhawatirkan. Sebab, bila anak muda ke kota tanpa dibekali keterampilan memadai, akan timbul masalah sosial seperti kriminalitas dan tunawisma.

Agar siswa mencintai desanya, perlu juga diupayakan melaksanakan kurikulum sejarah yang berisi muatan lokal atau local wisdom. Di wilayah pantai, misalnya, perlu diberikan pengetahuan tentang perkembangan jenis hewan dan tumbuhan, sifat lingkungan maritim, serta manfaat-manfaatnya.

Sudah tentu, cara-cara yang pernah dilakukan untuk mengembangkan dan melestarikan lingkungan juga perlu diajarkan. Hasil yang hendak dicapai adalah lahirnya cara-cara baru yang lebih baik untuk melestarikan lingkungan. Perkembangan teknologi lama yang pernah ada dan teknologi mutakhir tentang budi daya serta pengolahan hasil laut perlu diperkenalkan agar anak-anak tertarik.

Untuk daerah agraris, perkembangan budi daya tanaman pangan serta hortikultura beserta teknologi mutakhir yang diajarkan pasti akan memotivasi anak untuk belajar lebih lanjut. Keberhasilan daerah dalam mengembangkan industri maritim dan pengolahan hasil pertaian sehingga menjadi daerah makmur tentu akan menumbuhkan motivasi anak untuk melalukan sesuatu bagi daerahnya.

Gerakan kembali ke desa yang pernah dicanangkan hanya akan berhasil bila didukung program pendukung secara serentak, yaitu pembinaan rasa kecintaan kepada desa dengan memberikan contoh semangat perjuangan nenek moyang untuk membangun masyarakatnya, memberikan pendidikan tentang cara-cara memberdayakan lingkungan berupa sumber daya alam dan sumber daya manusia.

Penulisan buku sejarah lokal tentunya sangat mendesak dilakukan. Selanjutnya perlu diikuti oleh kegiatan edukasi yang lain agar generasi muda memperoleh peluang untuk tumbuh menjadi manusia seutuhnya yang amanah, sehingga daerah menjadi tempat mengabdi yang menarik bagi generasi muda. Daerah akan menjadi makmur dan mampu menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat di negara ini. (*)

Mustakim
Guru Sejarah SMA Muhammadiyah 1 Gresik
(Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=323103)