Jumat, 23 September 2011

Pertemuan 1

Museum Memberi Arti pada Masa Lalu

Selamat bertemu kembali Pembaca Perspektif Baru. Sebelum kita memulai diskusi ini, kami ingin menyampaikan turut berdukacita atas meninggalnya dua orang tokoh yang punya dedikasi besar pada bidangnya yaitu Kuntowijoyo sebagai seorang budayawan, sejarawan dan termasuk sastrawan. Juga kepada Semsar Siahaan, seorang perupa dan pelukis yang cukup mempunyai banyak cerita di masa-masa turunnya Soeharto.

Bersama kita kali ini adalah seseorang yang juga ahli dalam bidangnya yang dikenal sebagai kurator. Saya sendiri belum mengerti apa dan bagaimana pekerjaan seorang kurator. Karena itu kami menghadirkan seorang kurator yang bisa menjelaskan seperti apa sebenarnya pekerjaan kurator itu. Tamu kita adalah Amir Sidharta, seorang kurator yang menyelesaikan sekolahnya di University Of Michigan, Amerika. Kemudian beliau menekuni satu bidang yang mungkin jarang disukai orang yaitu mengenai museum. Bagaimana sebenarnya dunia museum itu? Amir Sidharta akan menjelaskan kepada Pembaca Perspektif Baru .

Bisa anda jelaskan dengan bahasa yang sederhana, apa pekerjaan seorang kurator itu?

Kurator pada masa lampau adalah orang yang merawat barang-barang benda koleksi, mencakup pencatatan, perawatan dan penyimpanan di museum. Kemudian berkembang tidak hanya untuk museum tetapi juga untuk pameran. Kalau pada masa sekarang ini, pekerjaan kurator bukan lagi sebagai pencatat atau yang melakukan persiapan sebelum pameran melainkan melakukan penelitian untuk menyusun pameran. Sedangkan pekerjaan seperti pencatatan, perawatan dilakukan oleh orang lain seperti juru daftar dan juga juru rawat lukisan.

Sejauh apa penelitian yang Anda maksud?

Ada banyak fasat, di mana satu benda bisa bercerita tentang benda itu sendiri, dan dia juga bisa bercerita tentang hal-hal di sekelilingnya. Dari segi estetika sebuah guci misalnya: siapa yang membuat, motif apa yang diaplikasikan pada sebuah guci. Kalau ditarik lebih jauh lagi, maka kita lihat: budaya apa yang ada di sekitar itu sampai motif itu menjadi suatu hal yang digemari. Kemudian lebih luas lagi: lingkungan sosial apa yang juga mempengaruhi benda-benda itu sehingga menjadi demikian. Sama halnya dengan seni lukis. Jadi tidak tergantung pada bendanya itu benda apa semua fasat dari penelitian mulai dari benda sampai ke lingkup yang lebih luas, semua dipelajari.

Apakah ini bisa dibilang sebagai menilai suatu karya?

Ya, bisa juga dibilang menilai karya. Tentunya menilai karya dari segi maknanya sebagai benda itu sendiri, dan juga benda itu sebagai benda pakai. Kemudian, kita harus memikirkan, misalnya, nilai belinya, nilai jualnya, dan sebagainya.


Apakah perlu ada skill (keahlian) tertentu untuk dimiliki seorang kurator?

Tentu, untuk menjadi seorang kurator sebaiknya memiliki skill dari bidangnya sendiri. Disiplin ilmunya harus dikuasai betul karena dia akan meneliti benda yang sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sekarang ini, terutama di dalam seni rupa kontemporer, hal tersebut sudah tidak jadi masalah besar lagi. Karena seni rupa sendiri sudah tidak terpaku pada satu disiplin seni saja melainkan mencakup banyak sekali disiplin. Justru sekarang banyak disukai orang yang punya pengetahuan mendalam tentang hal yang luas. Jadi memang ada pergeseran di dalam bidang ilmu yang harus dikuasai. Tetapi untuk menjadi kurator bisa juga dengan sekolah. Untuk menjadi kurator bagi seseorang yang ahli dalam suatu bidang ilmu itu, mungkin tidak bisa langsung. Sebaiknya ada pendidikan, karena ilmu museologi merupakan suatu hal yang berbeda dari bidang pendidikan lain. Menjadi kurator memerlukan suatu pengetahuan khusus tentang bagaimana meneliti benda dan juga bagaimana menyajikan suatu pameran.

Anda sebagai Kepala Museum di salah satu universitas, apakah di tempat Anda juga ada pelajaran untuk menjadi seorang kurator?

Belum ada. Bahkan di Indonesia, baru Universitas Indonesia (UI) yang menawarkan satu program, itu pun belum utuh (sempurna), jadi memang belum ada. Di Indonesia para pekerja museum (museulog) yang betul-betul mempelajari museologi itu masih bisa dihitung dengan jari. Ada niat dan upaya untuk mencoba ke arah mendirikan satu sekolah tetapi belum terealisasi. Sekarang ini yang dilakukan Departemen Parawisata dan Budaya adalah dengan melakukan pelatihan-pelatihan. Jadi tiap tahun atau tiap dua tahun sekali, ada pelatihan untuk para museulog. Para pekerja museum tersebut biasanya diundang untuk hadir mengikuti pelatihan, dan itu cukup menarik. Saya beberapa kali ikut memberikan pelatihan. Saya sangat senang karena para museulog di daerah sangat antusias untuk bisa memajukan museum mereka.

Ada anggapan bahwa orang di masa lalu dengan tradisinya, dengan sisa-sisa bangunan masa lalu, menunjukkan bahwa minat masyarakat waktu itu terhadap kebudayaan dan kesenian sebetulnya sangat tinggi. Kalau pada saat sekarang kita perhatikan, masyarakat sepertinya kurang berminat pada persoalan-persoalan kesenian dan kebudayaan. Ada apa sebenarnya ini dalam konteks masyarakat?

Memang sekarang perhatian masyarakat kelihatannya lebih ke bisnis. Tetapi, saya rasa sudah mulai tumbuh juga minat masyarakat kepada sejarah dan kebudayaan. Jadi sebenarnya kalau sudah ada kemapanan dalam bisnisnya (ekonomi), masyarakat akan kembali melihat kebudayaan, sejarah dan sebagainya. Saya juga melihat banyak sekali kesan bahwa museum itu seperti keramat, di mana benda-benda tidak boleh disentuh. Tetapi sayangnya, kalau keramat keluarga itu akan dikunjungi. Kalau keramat yang tidak dikenal justru ditinggalkan karena orang pada takut. Namun, saya tetap optimis, walaupun sekarang minat masyarakat masih kurang di bidang ini, tetapi yang memperhatikan semakin hari semakin berkualitas.

Saya pernah masuk museum sekalipun tidak mengerti betul. Tetapi saya perhatikan museum bisa menjadi satu tempat pendidikan yang baik, terutama dalam hal menghargai masa lalu, sejarah dan barangkali untuk tahu akan seperti apa masa depan nanti. Optimisme Anda tentu berdasarkan apa yang tumbuh di masyarakat sekarang. Apa sebenarnya prinsip-prinsip dasar di masyarakat, yang bisa membantu masyarakat untuk datang ke museum, dan mengerti apa yang ada di dalam museum itu? Atau paling tidak untuk menunjukkan minat yang lebih daripada sekarang?

Ini pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Tetapi saya rasa ini berkaitan dengan yang tadi anda sebutkan soal ingin mengerti pada saat berada di museum. Di dalam ilmu permuseuman ada yang kita sebut the

'O' factor. Jadi ketika pengunjung datang ke museum, ahli museum dianggap berhasil jika ketika pengunjungnya keluar dari pameran itu berkata ''Oh'' jadi begitu. Atau Oh... saya baru tahu''. Itu yang namanya 'O' factor. Jadi, 'O' factor itu intinya adalah unsur pendidikan dari museum itu. Di mana pameran di museum itu menawarkan sesuatu yang baru kepada pengunjungnya, d isitulah pengunjung akan bilang ''Oh... saya baru tahu...'' Itu berarti pengunjung belajar sesuatu yang baru dari museum itu. Saya rasa museum harus dilihat sebagai sesuatu yang bisa memberikan pendidikan dan juga hiburan. Unsur hiburan itu penting, karena prinsip-prinsip pameran museum itu menggunakan prinsip-prinsip teater. Mereka harus membangun konflik. Waktu konflik itu terjadi, kemudian diangkat, lalu ada resolusinya. Jadi teknik three act theater itu tetap ada di dalam dunia museum. Saya rasa prinsip edukasi dan hiburan, itu dua hal yang diperlukan untuk dapat menarik minat masyarakat. Agar sebuah museum bisa bertahan, museum itu harus punya koleksi, jika tidak punya koleksi, dia harus tahu di mana dia bisa mendapatkan bahan-bahan yang bisa digunakan sebagai koleksinya. Dan, koleksi itulah yang sebenarnya ditawarkan oleh museum. Di Indonesia, misalnya, kita beruntung karena Museum Nasional mempunyai koleksi yang begitu hebat yang merupakan warisan dari Belanda. Sebenarnya banyak sekali orang datang ke Indonesia ingin melihat Museum Nasional kita karena koleksinya. Jadi aset ini yang harusnya dipergunakan dan kita manfaatkan. Di museum-museum lain banyak yang dananya habis untuk bisa membangun koleksi karena koleksinya tidak ada.

Kalau diperhatikan, di antara museum atau galeri atau studio yang berkaitan dengan seni, menurut Anda mana yang paling representatif dengan pelayanan yang sudah membaik, yang dapat menunjukkan bagaimana mestinya museum berfungsi di tengah masyarakat?

Museum Nasional, karena kebetulan mempunyai aset lokasi yang strategis, intensitas kunjungannya cukup tinggi. Saya rasa pelayanannya juga sudah cukup baik. Museum-museum di Jakarta juga sudah berusaha dengan keras. Saya sering sekali dimintai saran dan mereka sedikit banyak sudah melakukan apa yang disarankan. Memang ada keterbatasan-keterbatasan juga dalam pelaksanaannya. Misalnya Museum Sejarah Jakarta yang kebetulan kepala museumnya teman saya. Beliau belajar permuseuman dan sangat aktif mengemas pameran-pameran yang seharusnya bisa menarik. Tetapi sayangnya pencapaiannya sulit. Salah satunya karena jaringan promosi yang belum mendapat dukungan sepenuhnya. Jadi harus ada upaya bersama untuk memajukan museum, tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Kita harus bergandeng tangan.

Menurut saya, Museum Nasional, Museum Sejarah Jakarta, dan Museum Wayang memiliki program yang bagus tiap minggunya. Tahun lalu Museum Wayang mengadakan sayembara arsitektur pengembangan museum karena mereka mendapat hibah gedung di sebelahnya. Jadi mereka bisa memperluas area museum dan menggunakan kesempatan itu untuk membuat museum yang lebih baik. Mereka sudah memilih karya seorang arsitek yang baik dan itu juga masih bisa disempurnakan. Mudah-mudahan proyek itu berhasil, sehingga kita bisa punya satu lagi museum yang bagus di Kota Jakarta ini. Orang bilang bahwa Indonesia mempunyai kekayaan masa lalu yang banyak sekali, karena sejarah di masa lalu dan keunikan-keunikan yang ada di masyarakat kita. Jika dibandingkan dengan negara-negara di Eropa, sekalipun mereka memiliki kebudayaan yang lain tetetapi mungkin orang masih bisa bilang Indonesia lebih kaya. Jika kita pergi ke Eropa, kita bisa mendapat brosur untuk panduan berjalan-jalan. Di brosur itu bisa ditunjukkan, kita bisa naik bis gratis sampai ke museum misalnya, atau masuk ke gereja, dan lain sebagainya. Tetapi di Jakarta, yang punya banyak sekali cerita, sejarah, dan keunikan, belum pernah saya melihat brosur yang terorganisasi dengan baik, yang dapat memandu saya untuk menuju ke museum-museum. Misalnya ada brosur yang menunjukkan, jika saya naik busway, saya bisa bisa turun di suatu tempat, di mana ada museum yang dapat dikunjungi. Kira-kira kapan Jakarta bisa seperti kota-kota di Eropa?

Beberapa waktu yang lalu kami mengadakan diskusi di Galeri Nasional dan seorang peserta bercerita bahwa dia datang dari Bandung lewat Gambir. Tetapi di Gambir tidak ada sama sekali petunjuk yang mengarahkan orang ke daerah Galeri Nasional. Padahal hanya tinggal menyeberang saja. Jadi buat orang yang datang dari daerah melalui Gambir, tidak akan langsung tahu bahwa ada Galeri Nasional. Sebenarnya sejak zaman Bung Karno, sudah ada rencana yang menarik bahwa kawasan sekitar Monas (Monumen Nasional) itu akan ada beberapa titik budaya. Di sisi barat ada Museum Nasional, di tengah ada Monumen Nasional, di timur ada Galeri Nasional dan Teater Nasional, di selatan Perpustakaan Nasional. Rencananya begitu. Hal ini sudah dipikirkan oleh Bung Karno pada tahun 1950-an. Saya sendiri pernah menulis sebuah artikel yang kira-kira melihat bagaimana orang lebih suka ke mall (pertokoan) daripada ke museum. Oleh karena itu, trik yang bisa lakukan adalah me-mall-kan museum. Artinya bukan memasukkan museum ke dalam mall. Tetapi seperti kita tahu mall itu intinya menggabungkan beberapa toko menjadi satu. Jadi misalnya Monas, kita buat apa yang ada di sekitarnya seperti Galeri Nasional, Museum Nasional menjadi suatu-kesatuan seperti mall. Di Taman Fatahillah Jakarta Barat, juga ada Museum Wayang, Museum Seni Rupa Jakarta, Museum Sejarah Jakarta, ada pasar ikan, menara dan Museum Bahari. Itu juga bisa jadi satu mall lagi, jadi satu-kesatuan beberapa museum. Kalau itu semua digabungkan dengan suatu network yang baik, sebenarnya itu bisa menjadi suatu yang sangat menarik. Seharusnya juga ada shuttle (kendaraan) dari Monas untuk ke museum-museum di daerah kawasan Fatahillah atau bagaimana caranya supaya busway bisa mempromosikan kota Jakarta. Busway harusnya bisa dioptimalisasi lagi sampai ke pariwisata. Kalau saja itu bisa dilakukan, saya rasa itu cukup baik. Sebenarnya Gambir, Stasiun Kota, punya potensi untuk menambah jaringan tadi, tetapi sayang kita belum melakukannya. Jadi perlu ada upaya bersama untuk itu.

Saya bayangkan persoalan-persoalan kesenian, museum, yang berkaitan dengan kesenian dan pemeliharaan kebudayaan masa lalu, seolah-olah tidak menjadi bagian dari tugas pemerintah. Tetapi apakah anda menangkap sinyal dari pemerintah pusat untuk memperbaiki keadaan ini?

Memperbaiki keadaan pernah saya rasakan walaupun belum menjadi kenyataan. Ketika Mega menjadi presiden, ada upaya untuk membangun kembali Jakarta sebagai pusat budaya. Ada langkah-langkah yang dilakukan untuk memajukan seni. Tetapi waktu itu mungkin terlalu banyak yang harus dilakukan sehingga tidak ada langkah yang benar-benar kongkret. Juga ada pembenahan dari koleksi Bung Karno karena ada ketidaksepahaman tentang siapa sebenarnya yang berhak atas koleksi itu. Jadi ketika itu mungkin hal-hal itu dulu yang harus dibenahi. Tetapi, saya masih berharap pemerintah kita sekarang atau yang akan datang ingat lagi bahwa sebenarnya museum ini juga bisa membantu meningkatkan ekonomi. Jadi bukan hanya melestarikan budaya, tetapi juga meningkatkan ekonomi. Contohnya yang dilakukan pemerintah Spanyol di Kota Bilbao, sebuah kota industri yang hampir menjadi kota hantu. Pemerintah Spanyol mendirikan Museum Guggenheim di sana. Mereka mengundang arsitek yang paling terkenal di dunia untuk membangun bangunan yang paling liar di dunia beberapa tahun yang lalu. Hasilnya, sekarang kota Bilbao hidup dari museum itu dan menjadi denyut nadi dari kota itu sekarang. Begitu pula di bidang lain bukan hanya di permuseuman, industri-industri budaya (culture industry) di sini juga bisa menjadi pemacu ekonomi misalnya di bidang film, misalnya New Zealand yang sekarang didukung oleh industri filmnya. Hal-hal seperti itu yang harus kita tinjau lagi, jangan anggap bahwa budaya itu hanya menjadi beban ekonomi, tetapi bisa jadi pemacu ekonomi.

Pembaca, jadi anda tidak perlu takut lagi untuk mengunjungi museum, karena ternyata di sana bukan saja bagian masa lalu dari sejarah dan kebudayaan kita, akan tetetapi bisa menjadi masa depan kita kalau kita menjadi bagian dari keinginan membangkitkan ekonomi setempat.

Sumber : http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/3/21/bd1.htm. diakses hari Jum’at, 23 September 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar